Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran etika yang dilakukan oleh Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memproses pencalonan Gibran sebagai Cawapres dalam Pilpres 2024. Hal itu dikemukakan oleh Yusril dalam menanggapi laporan Demas Brian Sicaksono, PH Hariyanto, dan Rumondang Damanik kepada Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP) yang mulai bersidang pada tanggal Jumat, 22 Desember 2024. Para pelapor mendalilkan bahwa komisioner KPU membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum. Terlapor juga dengan sewenang-wenang menetapkan Gibran sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Padahal komisioner KPU mengetahui pada saat proses pencalonan, batas usia pasangan capres adalah 40 tahun. KPU baru mengubah peraturan itu setelah proses pencalonan selesai. Para pelapor menyatakan tindakan terlapor bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang secara imperatif diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu. Norma etik yang dijadikan dalil para pelapor adalah Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP, yang memberikan kewajiban etik kepada komisioner KPU untuk melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara PKPU sendiri mengatur secara tegas syarat calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Karena peraturan yang bersifat tegas itu belum diubah dan KPU tetap memproses pencalonan Gibran yang belum berusia 40 tahun, maka para pelapor mendalilkan para komisioner KPU telah melakukan pelanggaran etika. Para pelapor memohon DKPP untuk menjatuhkan sanksi etika berupa pemberhentian sebagai komisioner KPU.
Yusril, yang juga pakar hukum tata negara dan filsafat hukum, menilai persoalan mendasar untuk DKPP menilai ada tidaknya pelanggaran etika atas norma Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP tersebut adalah bagaimana menafsirkan kata secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Kalau secara tegas ditafsirkan secara limitatif pada PKPU, dalil tersebut seolah nampak benar adanya. Peraturan KPU secara tegas menyebutkan bahwa pendaftaran wakil presiden bisa diproses jika telah berusia 40 tahun ke atas. Jika proses tetap dilanjutkan, maka para komisioner bisa dikenakan sanksi hukum administrasi, di samping dijatuhi sanksi etik. Namun menurut Yusril, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja. Di atas PKPU masih ada Peraturan Pemerintah, Undang-Undang, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KPU memproses pencalonan Gibran, bukanlah suatu pembiaran yang merupakan tindakan pasif, tetapi merupakan suatu tindakan aktif. Para komisioner KPU itu bertindak demikian didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2024 yang telah mengubah ketentuan Pasal 117 UU Pemilu. Usia calon presiden dan wakil presiden telah dimaknai oleh MK boleh berusia di bawah 40 tahun jika calon tersebut pernah dan/atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk Pilkada. Putusan MK itu berdasarkan Pasal 24C UUD 45 yang menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan berlaku serta merta sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Dengan adanya Putusan MK tersebut, maka norma Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah sejak tanggal itu, tanpa harus menunggu Presiden dan DPR mengubah UU Pemilu.
KPU memang belum dapat mengubah peraturannya sendiri karena terbentur dengan jadwal tahapan Pemilu yang harus dipatuhi. Selain itu, perubahan PKPU memerlukan konsultasi dengan DPR, sementara ketika itu DPR sedang reses. Dalam situasi seperti itu, KPU tidak punya pilihan kecuali melaksanakan Putusan MK dan mengabaikan PKPU yang dibuatnya sendiri. Putusan MK mempunyai kedudukan yang setara dengan UU, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari PKPU. Dalam konteks seperti itu, KPU memilih untuk mena’ati Putusan MK yang kedudukannya lebih tinggi dari PKPU. Kalau KPU mena’ati peraturannya sendiri (yang belum diubah) dan mengabaikan Putusan MK, malah KPU bertindak melanggar prinsip kepastian hukum sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No 2/2017 dan mengacaukan tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu. Tindakan demikian justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika dan bisa ditjatuhi sanksi pemecatan oleh DKPP.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Yusril berkeyakinan DKPP akan menolak laporan Demas Brian Wicaksono, Imam Munandar dan Rumondang Damanik karena tidak beralasan hukum dan beralasan etika samasekali. KPU telah melaksanakan proses pencalonan Gibran berdasarkan Putusan MK, dan itu telah sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Seluruh komisioner KPU tidak melakukan pelanggaran etik apapun sebagaimana didalillan oleh para Pelapor.
Yusril juga menegaskan Team Pembela Prabowo-Gibran tidak akan m-maju sebagai pihak dalam perkara etik yang sedang diperiksa DKPP itu.
“We are participating as an Intervening Defendant in a lawsuit for Unlawful Acts at the Central Jakarta District Court, which is almost the same as what is being examined by the DKPP,” he said. Yusril’s Acharya, Prabowo and Gibran would not become parties to this ethical case. Likewise, the defense team appointed the candidate.
Yusril added that an ethical case is different from a legal case. The ethics case judges the ethical…