Masyarakat Indonesia memasuki Tahun Baru 2024 dalam suasana pemilu, tepatnya di masa kampanye. Di sana-sini sudah ada baliho bergambar calon presiden-wakil presiden dan para calon anggota legislatif berbagai tingkatan. Tanpa merendahkan, gema pemilihan legislatif pada tahun ini memang kurang lantang. Perhatian orang hampir sepenuhnya terfokus kepada pemilihan presiden-wakil presiden, mulai dari drama Mahkamah Konstitusi, debat calon, sampai dengan berbagai kasus pelanggaran pemilu yang setiap hari menjadi diskusi di media. Di tengah situasi yang demikian, suhu politik makin memanas. Bukannya mencari jalan damai, banyak pihak hari-hari ini lebih senang menjadi pihak yang dengan berlebihan memuji calon yang ia pilih dan menjatuhkan calon yang tidak ia pilih. Media sosial menjadi tempat yang paling rentan menjadi persemaian benih kebencian di antara warga bangsa. Bangsa ini tidak belajar dari segregasi yang diciptakan oleh “cinta buta terhadap calon” dalam pemilu-pemilu maupun pemilukada sebelumnya.
Dalam situasi yang demikian, warga bangsa kita sedang diundang untuk kembali menegaskan peran masing-masing untuk menjadi pembawa damai. Logika Mistika Tentang cara berpikir masyarakat kita yang seringkali kurang rasional, pahlawan nasional kita, Tan Malaka pernah mengungkapkan idenya tentang pembongkaran ide irasional yang disebutnya sebagai logika mistika. Menurutnya, Indonesia perlu dibebaskan dari kungkungan pola pikir yang irasional, mistik, takhayul, klenik, metafisik, dan supranatural supaya penyakit lemah semangat dan lemah mental dalam perjuangan terkikis. Dalam hal ini, orang-orang Indonesia pada zaman itu, dan mungkin juga masih tersimpan di masyarakat kita hari ini, memiliki kecenderungan untuk berpikir kurang rasional. Banyak hal ditutupi dengan berbagai pemikiran supranatural yang membuat hal-hal yang bisa diantisipasi dan dipelajari secara rasional jadi tertutup semuanya. Cara berpikir yang demikian telah membuat bangsa kita kehilangan kesempatan untuk belajar banyak hal dari sejarah.
Salah satu yang terkenal adalah tentang sejarah berdirinya Candi Prambanan. Selama ini yang diketahui orang dari pendirian candi itu adalah Kisah Bandung Bondowoso dengan Roro Jonggrang. Kisah pendirian candi semegah itu berhenti pada mitos atau legenda yang tidak memberikan pelajaran apa pun kepada masyarakat saat ini. Orang tidak belajar apapun tentang bagaimana kerajaan Mataram Kuno dengan pemimpinnya Rakai Pikatan pada tahun 850 M berunding dan memutuskan bersama-sama untuk mendirikan candi. Kita tidak belajar soal konstruksi candi sehingga candi-candi yang sekarang ada umumnya adalah candi-candi kuno dan kita kesulitan untuk merestorasi candi-candi yang sudah rusak. Lagi-lagi tanpa ada kejujuran dengan pemikiran logis, masyarakat kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari sejarah.
Hari-hari ini, ketika kita berbicara tentang calon pemimpin bangsa, pembicaraan kita tidak sampai kepada kesadaran bahwa masing-masing calon memiliki sisi hitam putihnya masing-masing. Calon yang didukung seakan putih seperti salju, sementara calon lain laksana hitam seperti arang. Kita kehilangan kesempatan untuk menilai kadar abu-abu di masing-masing calon. Menjadi lebih tidak rasional lagi ketika orang-orang yang dulunya berteman dan saling memuji, berbalik saling membenci dan memandang hitam kepada kelompok yang berseberangan. Logikanya mirip dengan logika Kecap yang selalu menjadi nomer satu dan kecap merek lain entah nomer berapa (yang pasti tidak enak). Kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari proses pemilu ini, seperti halnya kita kesulitan mengambil hikmah dari pemilu-pemilu sebelumnya. Massa pemilih di antara kita adalah massa pemilih yang lebih mirip seperti fans sepakbola daripada orang-orang yang secara merdeka…
Ujung artikel tidak tercetak secara lengkap, oleh karenanya saya tidak bisa menyelesaikannya. Maaf atas ketidaknyamanannya.