Seperti disebutkan Adib, sejumlah negara telah mengimplementasikan program dokter asing seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, Selandia Baru, juga beberapa negara di Timur Tengah.
Namun, tidak semua negara maju menerapkan program dokter asing. Jepang, Cina, Korea Selatan, dan India tidak memberlakukan dokter asing seperti disampaikan Iqbal Mochtar.
“Negara-negara itu sama sekali tidak menggunakan dokter asing tapi mengandalkan dokter dalam negeri. Kalau ada yang masuk ke negara seperti Jepang dan Cina itu bukan untuk bekerja, tapi keperluan riset karena mereka membuka fellowship untuk belajar di sana,” kata Iqbal dalam media briefing secara daring pada Selasa, 9 Juli 2024.
Negara-negara di atas memiliki alasan yang kuat untuk membuka kesempatan bagi seorang dokter dari luar negaranya bekerja di sana. Kekurangan dokter yang masif terutama di daerah pedesaan atau pinggiran jadi alasan negara membuka kesempatan bagi dokter asing bekerja.
Pria yang kini bekerja sebagai dokter di Qatar ini menjelaskan untuk menentukan suatu wilayah membutuhkan dokter asing atau tidak bukan cuma melihat dari rasio penduduk.
“Bukan cuma rasio tapi juga mengukur beban kerja yang ada tapi juga level burn out dari dokter yang ada,” tutur pria yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah ini.
Negara Beri Kesejahteraan Tinggi ke Dokter Asing
Iqbal menuturkan bahwa ketika sebuah negara membuka peluang bagi dokter asing bekerja bakal memberikan tingkat kesejahteraan yang tinggi.
“Take homepay dari negara tersebut sangat besar,” kata Iqbal.
Bukan cuma gaji tenaga medis asing yang besar dari negara asal tapi juga tunjangan untuk sekolah anak bisa gratis maupun biaya yang rendah.
Selain itu, dokter asing itu juga punya kesempatan untuk melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi tutur Iqbal memberi gambaran.
Terapkan Syarat Ketat
Negara-negara yang memberikan kesempatan bagi dokter asing untuk bekerja menerapkan sejumlah syarat ketat. Di antaranya:
Kualifikasi Pendidikan
“Berasal dari negara yang berbeda, sistem berbeda serta spesialisasi berbeda. Terkait spesialisasi misal dokter ortopedi, misal dari latar belakang spesialis ortopedi tapi belum tentu kemampuannya antara satu dokter dengan dokter lain sama ketika berasal dari background (negara) berbeda,” jelas Iqbal.
Ujian Bahasa
Aspek krusial lain bagi negara-negara yang sudah membolehkan dokter asing adalah kemampuan berbahasa.
“Ujian bahasa sampai pada level profession yang artinya sudah sangat mampu untuk berkomunikasi dengan baik,” tutur Iqbal.
Di Jerman misalnya untuk menjadi dokter asing harus bisa di level bahasa C2. Menurut Iqbal, level ini sulit dicapai kecuali sudah bertahun-tahun berada di negara tersebut. Begitu pula dengan negara-negara berbahasa Inggris yang menggunakan level IELTS harus di atas 7 bahkan beberapa di atas 7,5.
“Tidak mudah untuk mencapai ini,” katanya.
Uji Kompetensi
Tes lain yang harus diikuti adalah mengikuti ujian kompetensi. Pihak yang mengetes adalah kolegium dokter di negara tersebut.
“Orang yang masuk di sana itu benar-benar diuji kemampuannya oleh kolegium yang ada sebelum diberi jalan bekerja di sana,” kata Iqbal.
Pelatihan Tambahan
Negara-negara tersebut memberikan training atau pelatihan tambahan. Contoh dokter di Indonesia sudah menjadi dokter konsultan begitu masuk ke Amerika harus mengulangi residensi dari awal. Jadi tidak bisa langsung melanjutkan.
“Hal ini juga terjadi di negara-negara lain,” kata Iqbal.
Contoh serupa terkait program dokter asing di negara lain juga disampaikan anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, Profesor Sukman Putra. Dia mencontohkan implementasi dokter asing di Australia. Dokter asing ingin bekerja di negara tersebut harus mengikuti penyetaraan selama dua tahun. Selama waktu tersebut, dokter tersebut harus praktik di beberapa rumah sakit yang ada di sana.