Tulisan Prabowo Subianto dalam bukunya “2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto” memuji kontribusi Zhu De pada teori perang gerilya. Prabowo mengatakan bahwa meskipun Mao Zedong sering mendapat pujian atas teori perang gerilya, sebenarnya Zhu De lah yang memiliki latar belakang pendidikan militer dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjalankan perang gerilya. Strategi perang non-konvensional yang diterapkan oleh Zhu De mengilhami puluhan gerakan gerilya dari paruh kedua abad ke-20 hingga saat ini.
Zhu De adalah seorang pemimpin militer Tiongkok yang lahir dalam keluarga petani di Sichuan. Dia adalah salah satu dari 15 bersaudara dan mengalami masa kecil yang sulit. Untuk keluar dari kemiskinan, Zhu Diadopsi oleh seorang paman dan masuk ke Akademi Militer di Kunming. Di sana, dia menonjol dan sering dipilih untuk memimpin Taruna setiap kali ada kunjungan pejabat tinggi.
Setelah lulus, Zhu De mengalami masa sulit, termasuk kecanduan opium. Namun, dia berhasil melepaskan diri dari kecanduan tersebut dan pergi ke Eropa untuk mempelajari taktik militer Jerman dan doktrin militer Soviet. Pada periode ini, Zhu De bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan kembali ke Tiongkok untuk bertemu dengan Mao Zedong.
Keduanya bersinergi dengan baik, dengan Mao sebagai ahli strategi dan intelektual, sementara Zhu De menggunakan keahlian militernya untuk perjuangan mereka. Mereka menjalankan taktik gerilya yang menyebabkan kemenangan PKT setelah Perang Dunia 2. Setelah kemenangan PKT, Zhu De menduduki posisi penting di dalam partai dan menjadi komandan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Tiongkok.
Di peran terakhirnya, Zhu De memimpin operasi besar-besaran TPR Tiongkok ke semenanjung Korea selama Perang Korea. Setelah konflik tersebut, dia diangkat menjadi salah satu dari sepuluh marsekal di TPR. Namun, pada tahun 1969 saat Revolusi Kebudayaan dimulai, Zhu De diberhentikan dari posisinya dan diasingkan ke Guangdong. Kontribusinya dihapus dari buku-buku sejarah China.
Pada tahun 1973, Revolusi Kebudayaan mulai mereda dan Mao mengembalikan Zhu De ke Beijing serta mengangkatnya menjadi kepala negara pada tahun 1975. Namun, Zhu De hanya menjabat sebagai kepala negara selama satu tahun sebelum meninggal pada tahun 1976. Meskipun pernah dihapus dari sejarah Tiongkok, kontribusi Zhu De dalam teori perang gerilya tetap diakui dan dihormati hingga saat ini.