Program Makan Gratis Nasional di Sekolah sejatinya bukan suatu yang baru digagas. Namun demikian, program ini perlu dikembangkan mengingat segala potensi dan manfaat turunan yang bisa dihasilkan, termasuk penciptaan lapangan kerja baru.
Kajian yang dibuat Indonesia Food Security Review (IFSR) disebutkan bahwa Program Makan Gratis Nasional di Sekolah sesungguhnya sudah dilaksanakan di Indonesia yakni pada 1997 silam. Saat itu, program yang dimaksud bernama Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah dan berlanjut pada tahun 2010 bernama Revitalisasi PMTAS.
Kemudian pada tahun 2012 Pemerintah Indonesia mendapat dukungan dari WFP Indonesia dan beberapa program Local Food-Based School Meals, ini adalah program pemberian makanan siswa berbasis pangan lokal. Selanjutnya pada 2016 ada pula program Perbaikan Gizi untuk Anak Sekolah (Progas).
Co-Founder Indonesia Food Security Review I Dewa Made Agung Kertha Nugraha menyampaikan, dari berbagai program tersebut, terbukti memberikan dampak positif dalam memperkuat sistem perlindungan sosial bagi masyarakat yang membutuhkan. “Namun sampai saat ini masih terkendala oleh payung hukum berupa undang-undang untuk menjaga kelangsungan program ini lintas pemerintah,” kata Dewa kepada Investor Daily, Selasa (26/12/2023).
Mengutip Badan Pangan PBB (UN WFP), bahwa jika dilakukan dengan baik, maka Program Makan Siang di Sekolah bisa meningkatkan kesehatan dan kecerdasan anak, kesejahteraan komunitas dalam meningkatkan kesetaraan gender dan mendukung ekonomi nasional serta stabilitas sosial.
Di masa mendatang, menurut IFSR program ini perlu diaktifkan kembali kembali dan diperluas cakupannya. Untuk menjalankan dengan sukses, diperlukan peningkatan di berbagai aspek, pertama prioritas penerima manfaat, dimana penerima manfaat program adalah masyarakat yang membutuhkan baik secara individu maupun kelompok. Prioritas dapat diberikan berdasarkan faktor seperti tingkat pendapatan, status gizi, dan kondisi kesehatan.
Kedua, kembangkan kerangka kebijakan yang jelas dan komprehensif, sehingga memberikan arah dan panduan bagi pelaksanaan program. Kerangka kebijakan ini harus mencakup tujuan, kelompok sasaran, sumber pendanaan, modalitas implementasi, dan mekanisme koordinasi program.
Ketiga, amankan pendanaan jangka panjang, mengingat hal ini diperlukan untuk memastikan kontinuitas dan skalabilitas program. Pemerintah dan sumber lain seperti dana desa atau sektor swasta perlu didorong untuk memberikan dukungan pendanaan. Keempat, perkuat kapasitas dan koordinasi pemangku kepentingan yang relevan di tingkat pusat dan daerah, untuk memastikan pelaksanaan program yang efektif dan efisien.
Kelima, libatkan masyarakat dalam desain dan implementasi program. Hal ini untuk memastikan bahwa program sesuai dengan kebutuhan preferensi mereka. Dan Terakhir tingkatkan partisipasi masyarakat, dengan cara mendorong penggunaan produk lokal, kontribusi sumber daya, umpan balik,dan kesadaran gizi.
Potensi Ekonomi dan Lapangan Kerja
Indonesia berada di peringkat 63 dari 113 negara dalam Global Food Security Index (GFSI) 2022. Skor terendah Indonesia adalah pada kategori keberlanjutan dan adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan dalam hal ketahanan pangan. Dewa menyebutkan, mengutip data yang dikemukakan Menko PMK Muhadjir Effendy bahwa 41% anak usia sekolah berangkat sekolah lapar/kelaparan, 32% menderita anemia, dan 58% pola makan tidak sehat.
Dengan demikian, semakin penting untuk lanjut mengembangkan dan memperluas Program Makan Gratis Nasional di Sekolah. Sejalan dengan dampaknya dalam hal ketahanan pangan dan mendorong sumber daya manusia yang berkualitas, program tersebut juga diyakini punya dampak lebih terhadap perekonomian.
Studi World Food Program terkait Program Makan Gratis Nasional di Sekolah menyebutkan setiap US$ 1 (sekitar Rp 15.400) yang dikeluarkan untuk bahan baku makanan, logistik dan penyimpanan, serta penguatan komunitas, akan menghasilkan dampak ekonomi sebesar US$ 9 (sekitar Rp 138.000) yang terdiri dari penghematan keluarga miskin, peningkatan kecerdasan, peningkatan produktivitas dan penghasilan kerja, serta peningkatan kesehatan serta perbaikan kesetaraan gender.
Adapun dampak ekonomi dan lapangan kerja program yakni, dengan asumsi indeks US$ 1 per makan, kebutuhan anggaran per tahun mencapai US$ 26,4 miliar atau mencapai sekitar Rp 400 triliun. Asumsi multiplier ekonomi 1,5 kali dan anggaran baru, maka dampak pertumbuhan ekonomi tambahan 2,6%.
Dengan asumsi 1 dapur untuk setiap titik makan siang, dan setiap dapur melayani 190, maka penerima manfaat sebanyak 377.000 dapur. Sementara itu dengan asumsi 5 tenaga kerja langsung per dapur, maka akan ada 1,8 juta tenaga kerja tercipta, belum termasuk petani, nelayan, peternak dan UMKM.
Mengenai sumber pendanaan untuk program ini, Dewa mengatakan bahwa dana sekitar Rp 400 triliun sesungguhnya tidak terlalu besar, yakni hanya sekitar 2% saja dari PDB. “Jadi, negara hanya perlu mencari tambahan pendapatan negara, kurang dari 2% saja dari PDB selama ini. Saya rasa sumber pendapatan di negara ini banyak sekali yang belum dioptimalkan,” kata Dewa.
“Kita punya agenda besar pada 2045 yakni Indonesia Emas dan itu hanya bisa dicapai jika sumber daya manusianya unggul dan berkualitas. Kita tidak usah muluk-muluk bicara teknologi dan lain-lain. Perbaiki saja gizi anak-anak saat ini, supaya IQ nya bagus. Nanti itu semua akan mengikuti. Jadi, makan siang ditambah susu untuk anak sekolah itu basic needs,” imbuh Dewa.
Penulis : Imam Suhattadi / Euis Rita Hartati
Sumber: investor.id