Sejumlah akademisi serta pakar berbagai kalangan menyampaikan pendapat dan sikap tentang Pemilu 2024 dalam sebuah forum kegiatan bertajuk “Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu” di Jakarta, Jumat.
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya Prof. Ramlan Surbakti menyampaikan bahwa pemilu tidak dapat dilihat hanya dari hasil, melainkan melalui sejumlah indikator.
Ramlan mengusulkan delapan parameter untuk menilai sebuah pemilu, meliputi hukum pemilu demokratis menjamin kepastian, kesetaraan warga negara yang tergambar dalam daftar pemilih, kesetaraan keterwakilan dalam pemungutan penghitungan suara, persaingan bebas dan adil antarpeserta pemilu.
Indikator berikutnya untuk menilai sebuah pemilu demokratis ialah penyelenggara hadirnya pemilu mandiri, profesional, berintegritas, serta efektif dan efisien. Berikutnya adalah adanya partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan pemilu, serta proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara berdasarkan tujuh asas pemilu.
“Tak hanya itu sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu dapat adil dan tepat waktu, sehingga semua orang terlibat penyelenggaraan pemilu tanpa ada kekerasan,” jelas Ketua KPU RI periode 2004-2007.
Forum yang diinisiasi Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah dan Yayasan Kebajikan Publik (Public Virtue Research Institute) itu menghadirkan kalangan ahli berbagai bidang, antara lain hukum, hak asasi manusia (HAM), politik, sejarah, sosiologi, antropologi, dan keamanan.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan prinsip demokrasi di ruang demokrasi itu semua prosesnya harus dilakukan dengan baik.
Selain demokrasi, konstitusionalisme merupakan salah satu fondasi penting berikutnya. Kemudian ada nepotisme yang menjadi musuh bagi demokrasi.
Mengenai Mahkamah Konstitusi, Zainal berpendapat lembaga peradilan itu bukan sekadar lembaga penghitung hasil pemilu. Setiap hakim MK wajib melihat pada substansi yang nilainya lebih tinggi dibandingkan pada formalitas penghitungan.
Menyambung hal tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid menyatakan situasi berbangsa dan bernegara sedang tidak baik-baik saja sehingga penting untuk menjaga konstitusionalisme.
“Kami melihat sidang MK menjadi momentum menegaskan beberapa hal, apa yang nanti akan diketuk dan diputuskan oleh MK akan menjadi titik balik, mengembalikan kepercayaan publik, mengembalikan nama MK, menjadi momentum untuk menjadi perjalanan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang,” katanya.
Selanjutnya, pengajar hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan putusan MK dalam waktu dekat ini perlu sekali berpihak kepada supremasi etika kenegaraan.
Hal itu merupakan peluang emas bangkitnya kepercayaan publik terhadap kualitas kenegarawanan delapan hakim MK. Sementara putusan MK dalam waktu perspektif futuristik sangat penting untuk antisipasi, yaitu menutup pintu radikalisme korupsi yang potensial.
Sementara itu, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menyebut para majelis hakim MK sebagai guardian of constitution. Alasannya ialah para hakim memiliki kewenangan sangat besar sekaligus sebagai begawan yang menghadirkan keadilan substantif.
Pewarta: Fauzi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024