Prof. Bayu Dwi Anggono, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), mengusulkan adanya perubahan Undang-Undang Kementerian Negara yang dinilai sudah tidak relevan.
“Terdapat kebutuhan hukum untuk melakukan perubahan atas UU Kementerian Negara dalam rangka penataan pembentukan Kabinet Presidensial yang konstitusional,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin.
Hal tersebut berdasarkan catatan analisis dalam hasil kajian rapat kerja nasional (rakernas) APHTN-HAN dalam tema besar “Penataan Kabinet Presidensial di Indonesia: Refleksi dan Proyeksi Konstitusional” yang diselenggarakan di Makassar pada 26-28 April 2024.
Usulan tersebut juga ditujukan untuk penataan kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilu 2024.
“Ada tujuh poin yang menjadi alasan APHTN-HAN untuk usulan perubahan UU Kementerian Negara agar mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan bersih, demokratis, dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat,” tuturnya.
Pertama, belum semua urusan pemerintahan yang disebut dalam UUD 1945 diatur dalam UU Kementerian Negara karena ada beberapa urusan pemerintahan yang belum ada nomenklaturnya dalam kementerian saat ini.
Kedua, berkaitan dengan jumlah kementerian dan UUD 1945 tidak mengatur mengenai jumlah kementerian, sehingga pembatasan jumlah paling banyak 34 kementerian yang diatur Pasal 15 UU Kementerian Negara saat ini sudah tidak relevan.
“Pembatasan jumlah kementerian diatur dalam UU Kementerian Negara tahun 2008 sudah tidak lagi dapat mengakomodasi kebutuhan akan fleksibel (agile) pengelolaan urusan pemerintahan yang disebut dalam konstitusi,” tuturnya.
Ketiga, tidak perlu membentuk kementerian koordinator karena kementerian koordinator tidak wajib dibentuk baik atas dasar UUD 1945 maupun UU Kementerian Negara.
“Apabila tetap dibentuk kementerian koordinator, perlu dipertimbangkan agar jumlahnya paling banyak tiga kementerian koordinator saja yakni klaster politik hukum keamanan, klaster ekonomi dan keuangan, serta klaster pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyat,” katanya.
Keempat, perlu diperhatikan keseimbangan antara jumlah menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan profesional.
“APHTN-HAN mengusulkan tiga kategori kementerian yang seharusnya diisi kalangan profesional yakni kementerian yang urusannya bersentuhan langsung dengan kepentingan hajat hidup orang banyak di antaranya bidang pendidikan dan pertanian,” ujarnya.
Kemudian kementerian yang urusannya berkaitan dengan urusan pemerintahan teknokratis dan kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan bersifat vertikal juga dipilih dari kalangan non-partai atau profesional.
Kelima, rakernas APHTN-HAN juga mengusulkan jabatan wakil menteri harus dibatasi dengan kriteria yang jelas. Keenam yakni perlu memperkuat kelembagaan dan fungsi Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai lembaga di lingkungan istana yang mendukung urusan kerja presiden dan wakil presiden.
“Terakhir, ketujuh yakni jabatan Jaksa Agung harus diisi oleh bukan dari perwakilan partai politik karena berkaitan dengan syarat untuk menjadi Jaksa Agung, maka perlu dipatuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XXII/2024,” ucap Bayu yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Dari hasil kajian itu, lanjut dia, APHTN-HAN menilai bahwa perlu dilakukan perubahan atas UU Kementerian Negara dalam rangka penataan pembentukan kabinet presidensial untuk presiden dan wapres terpilih Prabowo-Gibran agar tata kelola pemerintahan yang bersih dan demokratis terwujud.
Penulis: Zumrotun Solichah
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024