Purwokerto (ANTARA) – Dosen Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Ahmad Sabiq mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum harus memerhatikan dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah.
“Itu harus dilihat betul karena ini sudah putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, itu ‘kan final dan mengikat, jadi tidak ada interpretasi lain, mau tidak mau harus dilaksanakan,” kata Ahmad Sabiq di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Dalam putusan tersebut, kata dia, MK menyatakan masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan.
Berdasarkan putusan tersebut, ketika ada seorang wakil bupati yang diangkat menjadi bupati untuk menggantikan bupati sebelumnya yang berhalangan tetap, jika sisa masa jabatan yang dijalaninya kurang dari setengah masa jabatan atau kurang dari 2,5 tahun, hal itu tidak bisa dihitung satu periode.
Akan tetapi, jika sisa masa jabatan yang dijalaninya sudah lebih dari 2,5 tahun, hal itu berarti yang bersangkutan telah menjalani masa jabatan bupati selama satu periode.
Dengan demikian, ketika yang bersangkutan maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan terpilih sebagai bupati, tidak boleh mencalonkan diri kembali pada pilkada berikutnya karena dianggap sudah menjabat selama dua periode.
“Sesuai dengan ketentuan itu ‘kan maksimal dua periode. Kalau baru satu periode masih bisa maju lagi. Akan tetapi, kalau sudah dua periode, itu tidak boleh,” kata Ketua Laboratorium Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Terkait dengan hal itu, Sabiq mengharapkan KPU benar-benar mencermati pencalonan petahana pada Pilkada Serentak 2024 guna memastikan apakah sudah dua periode ataukah baru satu periode dengan berpedoman pada Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua KPU Kabupaten Purbalingga Zamaahsari Ramzah mengaku jika ada beberapa pihak yang menanyakan permasalahan masa jabatan kepala daerah tersebut, khususnya dalam Pilkada Serentak 2024 di Purbalingga. Namun, pihaknya belum bisa memberikan komentar karena masih menunggu arahan dari KPU RI.
“Ada beberapa yang tanya soal itu, kami enggak bisa berkomentar, kami ini ‘kan pelaksana yang di bawah. Prinsipnya nanti kalau arahannya itu menjadi bagian yang jabatannya sama, kami ikuti. Akan tetapi, kalau misalnya tetap bupati sendiri, plt (pelaksana tugas, red) sendiri, kami ikuti,” katanya.
Permasalahan masa jabatan kepala daerah ini mengemuka setelah Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi diketahui akan maju sebagai bakal calon bupati pada Pilkada Purbalingga 2024.
Dalam hal ini, Dyah Hayuning Pratiwi yang sebelumnya merupakan Wakil Bupati Purbalingga periode 2016—2021, selanjutnya diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Bupati Purbalingga sejak 6 Juni 2018 karena bupati sebelumnya, yakni Tasdi tersangkut operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dyah Hayuning Pratiwi dilantik sebagai Bupati Purbalingga pada tanggal 12 April 2019 untuk menggantikan Tasdi. Dalam Pilkada 2020, Dyah Hayuning Pratiwi yang berpasangan dengan Sudono terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Purbalingga, keduanya dilantik pada tanggal 26 Februari 2021.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024