Liputan6.com, Jakarta Data World Health Organization (WHO) pada 2019 menunjukkan bahwa pneumonia menyebabkan kematian hingga 740 ribu anak di bawah lima tahun. Gejala penyakit yang mirip dengan penyakit saluran pernapasan lain membuat orangtua melewatkan kondisi sang anak.
“Seringkali terlewatkan, sehingga penting bagi orang tua untuk mengenali berbagai gejala awal dan faktor risiko pneumonia. Dampaknya bisa menyebabkan kematian, karena itulah pneumonia disebut sebagai the silent killer,” kata dokter spesialis anak konsultan respirologi Profesor dr Cissy Kartasasmita.
Lebih lanjut, Cissy menjelaskan bahwa pneumonia terjadi akibat infeksi bakteri, virus atau jamur hingga membuat peradangan pada paru. Kondisi tersebut membuat anak sulit bernapas, demam, batuk dengan lendir bening atau berwarna kuning, hijau ataupun bercampur darah.
Salah satu virus penyebab pneumonia adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Pada pneumonia akibat virus, Cissy mengungkapkan bahwa biasanya tidak menimbulkan gejala yang berat tapi penyembuhannya membutuhkan waktu yang lebih lama.
Merujuk data dari empat penelitian lokal secara terpisah juga menunjukkan kalau RSV adalah virus yang muncul setiap tahun. Dimana kasus puncaknya terjadi pada minggu 48 (awal Desember) hingga minggu 16 (akhir Maret).
Infeksi RSV Lebih Parah pada Bayi dengan Kondisi Tertentu
Pada bayi dengan beberapa kondisi tertentu memiliki risiko yang parah bila terinfeksi RSV. Kelompok tersebut adalah bayi prematur, bayi dengan kelainan bawaan seperti kelainan jantung bawaan, bayi dengan BPD (brocho pulmonary displasia) dan bayi dengan kelainan CP (Celebral Palsy).
Diperkirakan 2,02% insiden bayi yang lahir prematur berisiko tinggi terinfeksi RSV. Mortalitas pada bayi prematur berisiko tinggi hingga mencapai 3% bandingkan dengan laju kematian COVID-19 pada anak-anak “hanya” 0,4%.
“Ini artinya risiko terkena RSV lebih tinggi pada bayi prematur. Sedangkan Indonesia memiliki angka kelahiran prematur yang tinggi, sekitar 10%,” jelas Cissy.