30 C
Jakarta
Monday, November 18, 2024
HomeBeritaIndonesia Siap Menjadi Poros Perdagangan Karbon, Inilah Panduannya

Indonesia Siap Menjadi Poros Perdagangan Karbon, Inilah Panduannya

Jakarta

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan Indonesia bisa menjadi poros utama perdagangan karbon di dunia. Indonesia disebut memiliki modal besar untuk melakukan perdagangan karbon.

Indonesia memiliki banyak sekali kekayaan nature based solution. Indonesia juga diklaim Jokowi bisa menjadi satu-satunya negara yang 60% pemenuhan pengurangan emisi karbonnya berasal dari sektor alam.

Jokowi menyebut ada kurang lebih 1 giga ton CO2 yang berpotensi untuk menjadi kredit karbon, bisa ditangkap, dan diperdagangkan.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Saya optimis Indonesia menjadi poros karbon dunia asalkan langkah konkret bisa dijalankan dengan baik oleh semua pemangku kepentingan,” beber Jokowi, dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/6/2024).

Terkait perdagangan karbon yang disebut Presiden Jokowi bakal semakin ramai dengan Indonesia sebagai porosnya, ada aturan yang sudah disiapkan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK) Siti Nurbaya Bakar menyebut Peraturan Presiden Nomor 98 merupakan refleksi kedaulatan sumberdaya alam dengan nilai akhir yaitu karbon, yang harus menjadi pegangan nasional.

“Ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo bahwa perdagangan karbon harus dengan tata kelola yang tepat. Artinya, harus ada carbon governance sebagai pedoman, dimana dalam iklim dan karbon peran pelaku bisnis cukup besar,” kata Siti.

Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya
1. Bisnis memiliki material yang cukup banyak;
2. Bisnis memiliki kekuatan finansial dan teknologi;
3. Bisnis memiliki mobilitas trans-nasional dan menjadi konduktor pengembangan teknologi di dunia;
4. Bisnis dapat menjadi sentral dalam implementasi penurunan emisi dan diantaranya dengan aksi radikal dalam hal teknologi;
5. bisnis merupakan mesin pertumbuhan.

Di samping itu, Siti menuturkan carbon governance merupakan instrumen koherensi aktualisasi pelaku bisnis dan pemerintah dalam proses yang diketahui secara terang dan dapat diikuti dengan baik oleh publik. Penerapan Carbon Governance akan menempatkan secara tepat sasaran aksi iklim dan nilai ekonomi karbon untuk kepentingan nasional.

“Penerapan yang sembrono atas offset karbon hutan dapat berimplikasi pengurangan kawasan hutan yang berpindah ke luar negeri tanpa terkendali sehingga akan berimplikasi pada ‘hilangnya kawasan negara’ karena hilangnya jurisdiksi kewenangan pengaturan wilayah atau kawasan negara tersebut akibat kontrak swasta/korporat berkenaan dengan kontrak dagang karbon yang mereka lakukan dengan ‘land management agreement’,” jelas Siti.

Terkait ancaman hilangnya kawasan negara, menurut Siti, sudah terjadi dan bisa diambil contohnya di Indonesia. Ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadp perusahaan konsesi untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang ijin karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di laur negeri yaitu di Hong Kong.

“Padahal, pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah ‘menyerahkan’ atau ‘mengalihkan’ dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri. Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan serta ketidaktaatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, oleh Pemerintah RI telah dijatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan,” beber Siti.

Dikatakan Siti, kondisi seperti contoh ini memberikan gambaran bahwa terjadi pengalihan konsesi ke luar negeri tanpa diketahui oleh pemerintah, tanpa kendali pemerintah, karena tidak mengikuti aturan dengan alasan merupakan kegiatan offset karbon voluntary.

“Bisa dibayangkan apabila pemegang izin definitif konsesi karbon (restorasi ekosistem) yang saat ini luasnya telah mencapai 215 ribu ha (hektare) izin definitif (6 perusahaan) dan sedang berproses menjadi sekitar 80 unit konsesi karbon dengan luas bisa mencapai diatas 2 juta ha, maka bisa terjadi pengalihan areal hutan negara ke luar negeri tanpa kendali dan tidak diketahui oleh pemerintah atas alasan voluntary. Dan dengan demikian, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui kemana beralihnya dan dikuasai oleh siapa,” ujar Siti.

Siti menambahkan dengan kata lain, pemerintah hanya tahu perusahaan memiliki izin di atas kertas, hanya berupa ijin tanpa wilayah, (tidak ada kewajiban yang bisa dilakukan dan tidak ada pembinaan oleh pemerintah RI). Karena wilayahnya sudah dikuasai pihak lain (asing); bukan lagi menjadi sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara dengan hak konstitusionalnya pada rakyat Indonesia.

“Indonesia bisa kehilangan wilayah negara atas nama bisnis dan voluntary,” kata Siti.

BERITA TERBARU
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER