Rabu, 3 Juli 2024 – 01:04 WIB
VIVA – Mantan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengungkap penyebab melonjaknya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN) yang berdampak pada kenaikan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) maupun Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Baca Juga :
DPR Nilai Rekrutmen Dokter Prioritas di Samping Turunkan Harga Alkes dan Obat
Nasir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI, Selasa, 2 Juli 2024, menyoroti adanya ketimpangan pembiayaan pendidikan tinggi pada Kemendikbudristek dan kementerian/lembaga (K/L) lain yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan.
Menurutnya, ada studi kementerian yang dia pimpin dengan KPK pada 2017, yang menunjukkan ada ketimpangan pada alokasi anggaran perguruan tinggi di bawah Kemendibduristek dengan perguruan tinggi kedinasan di bawah kementerian/lembaga lain.
Baca Juga :
Menko PMK Bongkar Kecurangan di PPDB: Gunakan Ijazah dan Alamat Palsu
“Ternyata alokasi anggaran PT di Kemendikbudristek hanya Rp 7 triliun, untuk perguruan tingginya. Sementara alokasi anggaran di Kementerian/Lembaga sebesar Rp 32 triliun, mengejutkan juga,” kata Nasir.
Baca Juga :
Soroti Potensi Batam, Putu DPR Dorong Cross Border Tourism: Ke Depan Harus Ada Roadmap
“Kalau di perguruan tinggi negeri UKT tertinggi itu ada di Fakultas Kedokteran, ini paling tinggi, rata-rata di atas 18 juta di bawah Rp25 juta UKT-nya, kalau kita hitung BKT-nya ya sekitar Rp40 juta,” sambungnya
Menurutnya pembiayaan yang timpang antara pendidikan tinggi di bawah Kemendibudristek dengan pendidikan tinggi kedinasan di bawah kementerian/lembaga lain, yang salah satunya berdampak pada gejolak soal Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Ia merinci biaya pendidikan tertinggi pada prodi S1 di PTN di bawah Kemendikbudristek seperti Universitas Gadjah Mada pada tahun akademik 2019 sebesar Rp 52 juta per tahun.
Institut Teknologi Bandung sebesar Rp 40 juta per tahun, Universitas Indonesia sebesar Rp 30 juta per tahun dan Universitas Airlangga sebesar Rp 30 juta per tahun.
Sedangkan biaya kuliah pendidikan tinggi kedinasan di Kementerian/Lembaga, seperti di Kementerian Perhubungan dengan 964 mahasiswa aktif mengeluarkan DIPA Rp 356 miliar. Dengan begitu, biaya kuliah per mahasiswa yakni sekitar Rp 369 juta.
Pendidikan tinggi kedinasan di Kementerian Keuangan dengan jumlah mahasiswa aktif 10.220 orang dengan DIPA Rp 130 miliar, maka biaya kuliah per mahasiswa yakni sekitar Rp 12 juta.
Ia mendorong adanya pengawasan yang ketat terhadap 20 persen alokasi anggaran pendidikan. Salah satunya adalah masalah ketimpangan biaya pendidikan antara kementerian yang mengurusi pendidikan dengan kementerian/lembaga lain.
“Saran kami adalah mungkin perlu disinkronkan. Duduk bareng, lah bahasanya. Mungkin menyangkut pada kementerian-kementerian lain yang kaitannya adalah urusannya dengan pendidikan. Perlu ada pertanggungjawaban yang jelas soal penganggaran pendidikan di kementerian yang mengurusi pendidikan dengan K/L lainnya,” ungkapnya
20 % Bukan untuk PT Kedinasan
Dalam kesempatan yang sama, mantan Mendikbud Ristekdikti, Muhadjir Effendy mengingatkan alokasi anggaran pendidikan bukanlah untuk sekolah kedinasan sebagaimana merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
“Pimpinan, disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas itu menyatakan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan sekurang-kurangnya 20 persen. Jadi bahkan gaji pendidik tidak termasuk. Kedinasan tidak termasuk. Tegas loh ini,” kata Muhadjir di DPR RI
Sebagaimana perlu diketahui, Pasal 49 Undang-undang Sisdiknas menyebutkan bahwa dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
Dengan demikian, 20 persen anggaran pendidikan tidak seharusnya digunakan untuk pembiayaan sekolah kedinasan.
Menurutnya, penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan seharusnya dibiayai dari anggaran kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang menyelenggarakan sekolah tersebut berdasarkan Pasal 87 PP Nomor 57 Tahun 2022.
Oleh karena itu, ia menegaskan penyelenggaraan pendidikan kedinasan sudah seharusnya tidak mengenai anggaran pendidikan. “Jadi sebenarnya sudah ada payung hukum, regulasi ada, tinggal bapak bisa nggak menegakkan itu. Kalau kita siap-siap saja gitu, karena kita berkepentingan betul anggaran pendidikan memang untuk betul-betul sesuai dengan aturan ini,” tegasnya.
Halaman Selanjutnya
Ia merinci biaya pendidikan tertinggi pada prodi S1 di PTN di bawah Kemendikbudristek seperti Universitas Gadjah Mada pada tahun akademik 2019 sebesar Rp 52 juta per tahun.