Oleh DWINA AGUSTIN
GAZA — Meskipun negara-negara Arab menentang serangan penjajah Israel ke jalur Gaza yang membantai lebih dari sepuluh ribu nyawa, agresi masih belum berhenti. Kecaman dan kutukan yang disampaikan negara-negara Arab di forum internasional tidak mampu mencegah genosida terhadap anak-anak Palestina yang masih berlangsung. Banyak pertanyaan lantas mengemuka. Mengapa mereka tidak mengambil sikap lebih jauh untuk menghentikan kekejian Israel?
Direktur Penelitian dan Analisis di Arab Center Washington DC. Imad K Harb, mengungkapkan, kondisi ini bermula ketika rezim-rezim Arab, baik republik maupun monarki, menjadi lebih mapan. Daya tarik dan manfaat perjuangan Palestina bagi para pemimpin Arab perlahan-lahan mulai memudar. Padahal saat pasukan Zionis memulai pembersihan etnis di Palestina untuk mendirikan negara Israel pada 1948, penderitaan rakyat Palestina mengejutkan dunia Arab. Hal ini membuat marah negara-negara Arab yang berada di tengah perjuangan anti-kolonial dan mengangkat status pembebasan Palestina menjadi perjuangan pan-Arab.
Abainya Arab terhadap Palestina berhubungan langsung dengan sifat tidak demokratis rezim Arab. Kondisi ini ditambah dengan ketergantungan politik yang terus berlanjut pada Amerika Serikat, pendukung utama Israel dan proyek kolonial pemukimnya. Palestina saat ini tampak seperti sebuah renungan dalam tatanan politik Arab. Banyak negara yang berdamai dan menormalisasi hubungan dengan Israel, termasuk yang terbaru adalah seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020.
Seiring dengan semakin otoriter dan mengakarnya pemerintahan Arab, ruang advokasi bagi perjuangan Palestina semakin menyusut. “Seiring dengan semakin otoriter dan mengakarnya pemerintahan Arab, ruang advokasi bagi perjuangan Palestina semakin menyusut. Meningkatnya pengawasan atas wacana publik, meningkatnya sensor dan meningkatnya kekerasan politik telah membungkam perbedaan pendapat di dunia Arab,” ujar Harb dikutip dari Aljazirah.
Menurut Harb, dukungan resmi negara-negara Arab hanya sebatas retorika yang menipu dan isyarat simbolis untuk menghindari konfrontasi dengan Israel dan pendukungnya, AS. Contoh saja, hingga saat ini mereka hanya membuat pernyataan mengecam tindakan pembantaian Israel terhadap warga Gaza, tetapi tetap menjalankan diplomasi dan kebutuhan lainnya bersama Israel dan sekutunya.
Kondisi ini sebenarnya sempat disinggung sudah jauh hari oleh Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1977. Sadat menyindir bahwa Washington memegang “99 persen kendali” di Timur Tengah. Penyataan ini pun menunjukan hasil perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel yang ditengahi AS. “Tindakan terbesar yang dilakukan pemerintah negara-negara Arab dalam menanggapi agresi Israel adalah mengeluarkan kecaman dan protes yang sia-sia,” kata Harb.
Harb pun menyoroti alasan lain yang semakin membuat jarak dukungan terhadap Palestina. Sejak 2007, ketika Hamas mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza dari Otoritas Palestina (PA) yang dikendalikan oleh Fatah, Palestina belum memiliki kepemimpinan politik yang bersatu. Lebih buruk lagi, PA yang merupakan badan yang diakui secara internasional yang mengatur wilayah Palestina yang diduduki, telah kehilangan hampir seluruh legitimasinya di mata masyarakat Palestina.
Perpecahan tidak hanya menguntungkan Israel tetapi menjadi alasan yang tepat bagi rezim-rezim Arab untuk tidak mendukung perjuangan Palestina. “Mereka dengan sinis beralasan bahwa jika warga Palestina yang selama bertahun-tahun menuntut independensi dalam memutuskan urusan mereka sendiri tidak mempunyai pendirian yang bersatu, mengapa dan bagaimana dunia Arab dapat bekerja demi kepentingan mereka?” ujar Harb.
Sementara itu, Profesor Hubungan Internasional di American University of Paris Marwan Bishara menyatakan, tanggapan pemerintah negara-negara Arab terhadap perang Israel di Gaza, sama seperti tanggapan terhadap empat perang sebelumnya. Mereka bersikap sangat lemah. Palestina telah dan masih menjadi isu utama di Arab. Suara-suara negara Arab hanya terdengar klise. Bishra menganalogikannya dalam pertemuan Liga Arab di Kairo pada 11 Oktober.
Israel percaya bahwa negara-negara Arab terlalu terpecah, tidak berdaya dan acuh tak acuh terhadap penderitaan Palestina sehingga tidak dapat memberikan tanggapan yang memadai. Ketika itu, para menteri luar negeri Arab mengutuk pembunuhan dan penargetan warga sipil di kedua sisi. Sikap ini justru menyamakan kelompok pendudukan dan penjajah, kelompok perlawanan Palestina dan tentara pendudukan Israel. Para menteri itu pun berbicara secara samar-samar tentang perlunya perdamaian. Baru ketika kabar serangan rumah sakit al-Ahli pada 17 Oktober, yang membunuh sekitar 470 warga Palestina, akhirnya membuat marah masyarakat Arab dan internasional. Peristiwa ini memaksa rezim Arab untuk bereaksi dengan lebih tegas dengan menghasilkan resolusi Majelis Umum PBB yang mengutuk serangan 7 Oktober dan kekejaman Israel dan menyerukan gencatan senjata.
Tapi, Israel tidak peduli dengan hasil tersebut. “Israel percaya bahwa negara-negara Arab terlalu terpecah, tidak berdaya dan acuh tak acuh terhadap penderitaan Palestina sehingga tidak dapat memberikan tanggapan yang memadai,” ujar Bishara.
Bishara melihat, sikap Israel itu tidak salah, karena memang dukungan resmi Arab terhadap perjuangan Palestina terus berkurang selama bertahun-tahun. Terlebih lagi negara-negara itu menghadapi perangnya sendiri, seperti konflik Irak-Iran dan invasi Irak ke Kuwait, serta berbagai perang saudara setelah revolusi Musim Semi Arab pada 2011. “Saat ini, para pemimpin Arab mungkin bersedia bersuara demi Palestina, namun hanya sedikit yang siap atau mampu mewujudkan apa yang mereka katakan,” ujar Bishara.