Kamis, 21 November 2024 – 19:56 WIB
Jakarta, VIVA – Sidang kasus korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Helena Liem dan Mochtar Riza Pahlevi kembali di gelar di PN Tipikor, Jakarta, Rabu, 20 November 2024. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan saksi ahli. Salah satunya adalah Elly Rebuin, Aktivis lingkungan dan tokoh Bangka Belitung.
Baca Juga :
Tom Lembong Ngaku Sampai Detik Ini Masih Belum Tahu Perbuatan yang Jadikan Dirinya Tersangka
Sebagai warga asli Bangka Belitung, Elly cukup prihatin terkait framing penambangan ilegal yang dilakukan masyarakat Bangka Belitung.
“Kalau begitu, maka rakyat jadi penonton di rumah sendiri”, ujar Elly.
Baca Juga :
Tom Lembong Sebut Nama Jokowi: Saya Selalu Berkoordinasi Selama Jadi Menteri Perdagangan
Dalam menanggapi adanya isu penambang liar, Pemda serta PT.Timah terus mencari Solusi. Karena itu tanah masyarakat. PT. Timah sebelumnya dianggap The New VOC. Jadi kerjasama kemitraan juga sudah ada sejak tahun 2000.
Baca Juga :
Profil Ibnu Basuki Widodo, Hakim yang Kini Jadi Pimpinan KPK
Dalam keterangannya di persidangan, Elly Rebuin menilai angka kerusakan lingkungan yang disajikan oleh Prof Bambang Hero Saharjo (Guru Besar Kehutanan IPB) tidak masuk akal. Dalam penjelasannya sebagai saksi ahli yang dihadirkan penasehat hukum, produksi logam timah PT Timah tahun 2015-2022 sebanyak 283.257 ton.
Harga rata-rata timah dari London Metal Exchange (LME) dari tahun 2015-2022 berkisar di angka US$21.763. Tertinggi pada tahun 2021 sebesar US$ 31.382, sementara terendah pada tahun 2015 sebesar US$16.083. Nilai tukar Rupiah dari tahun 2015-2022 berkisar Rp14.158/ Dolar.
“Jika semua ditotalkan, maka pendapatan PT Timah Tbk dari penjualan logam timah sebanyak 283.257 ton dari tahun 2015-2022 hanya sebesar Rp82,7 Triliun. Angka ini jauh dari kerusakan lingkungan dari perhitungan ahli sebesar Rp271 Triliun,” jelas Elly.
“Masyarakat sudah tahu harga LME jadi tidak ada masyarakat bisa dibohongi oleh sekelompok orang. Masyarakat ikut mengendalikan harga. Dan mereka hidup makmur serta rukun”, tambah Elly.
Sementara untuk menghitung biaya reklamasi hitungannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, yakni jaminan reklamasi sebesar Rp90 juta/ hektar, land rent sebesar US$4/hektar/tahun, royalty sebesar 3% dari nilai penjualan ekspor. Sedangkan untuk CSR sebesar 2% dari keuntungan, meskipun tidak mengikat.
Menurut Elly, hitungan yang dibuat Prof Hero Saharjo sumir karena tidak jelas metodenya, mencampurkan angka kerugian dan biaya reklamasi dan ketidaksesuaian objek tambang atau IUP yang dihitung.
Meski hitungan kerugian negara masih kabur, namun Elly menilai kondisi ekonomi provinsi Bangka Belitung sudah hancur lebur pasca pengusutan kasus timah sudah terbukti.
“Timah adalah panglima ekonomi Babel. Dengan angka pertumbuhan 6,85% dari tahun 2001 hingga 2022, Babel adalah propinsi dengan pertumbuhan tertinggi di Sumatera. Kini pertumbuhan dibawah 1 %, propinsi termiskin di Indonesia,” jelas Elly.
Menurut data statitik BPS Propinsi Bangka Belitung 2024, diproyeksikan Babel hanya akan tumbuh 0,2 persen saja pada tahun 2025.
Sebagai tambahan informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) Bangka Belitung melaporkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Babel mencapai 4,63 persen pada Agustus 2024.
Angka ini terjadi kenaikan 0,07 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2023. Persentase setengah pengangguran pada Agustus 2024 mengalami kenaikan sebesar 2,06 persen poin, sementara pekerja paruh waktu mengalami penurunan sebesar 0,24 persen poin dibandingkan Agustus 2023.
Halaman Selanjutnya
Sementara untuk menghitung biaya reklamasi hitungannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, yakni jaminan reklamasi sebesar Rp90 juta/ hektar, land rent sebesar US$4/hektar/tahun, royalty sebesar 3% dari nilai penjualan ekspor. Sedangkan untuk CSR sebesar 2% dari keuntungan, meskipun tidak mengikat.