Mantan Penyidik KPK, Praswad Nugraha, menyatakan bahwa buronan Paulus Tannos dapat dijerat dengan pasal perintangan penyidikan setelah diduga memiliki kewarganegaraan ganda saat masih menjadi buronan KPK. Praswad mengungkapkan bahwa usaha Paulus Tannos untuk mengubah status kewarganegaraannya dianggap sebagai tindakan kriminal tersendiri yang melanggar pasal 21 tentang menghalangi penyidikan. Paulus Tannos disebut terlibat dalam tindak pidana korupsi E-KTP dan dituduh melakukan perbuatan berlapis, yang menunjukkan keseriusan dan kompleksitas kasus yang dihadapinya.
Paulus Tannos terlibat dalam proyek E-KTP dan ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan beberapa nama lainnya, seperti Sugiharto, Irman, Markus Nari, dan Setya Novanto. Pada tahun 2019, status tersangka ditetapkan bagi Paulus Tannos terkait kasus e-KTP. Meskipun upaya untuk menerbitkan Red Notice ke markas Interpol di Lyon, Prancis dilakukan pada tahun 2022, hal ini masih mengalami kendala akibat banding yang diajukan oleh pihak Tannos.
Selama proses penyelidikan, keberadaan Paulus Tannos berhasil dideteksi di Bangkok pada tahun 2023. Namun, pada saat akan ditangkap, Tannos telah berganti kewarganegaraan dan menggunakan paspor Guinnes Bissau, sehingga hal ini menyulitkan proses penangkapannya. Setelah adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura serta pengesahan UU tentang perjanjian ekstradisi di tahun-tahun berikutnya, Paulus Tannos akhirnya berhasil ditangkap di Singapura pada bulan Januari 2025.
KPK masih harus menyelesaikan sejumlah proses di Singapura sebelum melakukan ekstradisi terhadap Paulus Tannos. Meskipun sudah berganti kewarganegaraan dan identitas, Tannos harus menghadapi konsekuensi hukum atas perbuatannya terkait kasus korupsi e-KTP. Keterlibatan Paulus Tannos dalam kasus ini menunjukkan kompleksitas dan keseriusan tindak pidana yang harus dihadapi.