Parental abduction adalah tindakan serius yang melibatkan melarikan, membawa, atau menyembunyikan anak oleh salah satu orangtua kandung tanpa izin dari orangtua lain yang memiliki hak asuh. Kasus-kasus ini telah terjadi di Indonesia, dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 476 kasus parental abduction pada periode 2011-2017.
Kondisi ini disoroti oleh Psikolog Anak, Seto Mulyadi, yang menegaskan bahwa dampak dari parental abduction sangat merugikan bagi anak. Hal ini termasuk dampak psikologis, gangguan emosional, sosial, dan perkembangan anak. Ketika kedua orangtua tidak memiliki hubungan yang baik, pertanyaan dan kebingungan bisa muncul dalam diri anak, terutama ketika mereka menyadari upaya salah satu orangtua untuk “menculik” dan menyembunyikan mereka dari orangtua lain.
Sebagai contoh, seorang ibu bernama Angelia Susanto membagikan pengalaman kehilangan anaknya akibat parental abduction. Anaknya, yang diculik saat berusia enam tahun di atas jembatan Casablanca, masih belum ditemukan setelah lima tahun berlalu. Proses perampasan anak oleh mantan suami yang warga negara Filipina menunjukkan kesamaan dengan kasus serupa di Filipina, di mana anak sering diculik dengan bantuan polisi bersenjata.
Kejadian ini sangat traumatis bagi Angelia, dan dia yakin bahwa sang anak telah menjadi korban brainwash atau cuci otak, sehingga tidak pernah menghubunginya lagi sejak peristiwa pada 30 Januari 2020. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan betapa seriusnya isu parental abduction dan perlunya tindakan pencegahan yang lebih ketat untuk melindungi anak-anak dari ancaman ini.