Di penghujung bulan Ramadhan, beberapa umat Islam melaksanakan sholat kafarat, atau sering juga disebut sholat al-bara’ah. Sholat ini dilakukan setelah sholat Jumat dan terdiri dari sejumlah rakaat sholat fardhu. Dalam sehari, umat Islam harus menunaikan lima waktu sholat, yaitu dhuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh, dengan total 17 rakaat.
Meski ada yang setuju dengan tradisi sholat kafarat ini, namun ada pula yang melarangnya. Ustaz M. Mubasysyarum Bih dari Pondok Pesantren Raudlatul Quran Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, mengutip bahwa sholat kafarat diniatkan untuk mengqadha sholat fardhu yang diragukan keabsahannya. Dikatakan bahwa sholat kafarat ini bisa menggantikan sholat yang ditinggalkan dalam rentang waktu hidup sampai 70 tahun dan bisa melengkapi kekurangan dalam sholat yang disebabkan oleh gangguan pikiran atau hal lainnya.
Tentu saja, hukum Islam memandang pelaksanaan sholat kafarat Jumat terakhir Ramadhan ini tidaklah sepi dari perdebatan. Terdapat pandangan yang beragam dari ulama tentang hukum pelaksanaan sholat kafarat. Misalnya, Mufti Hadlramaut Yaman, Syekh Fadl bin Abdurrahman dalam kitabnya menguraikan perbedaan pandangan ulama dalam hal ini.
Perbedaan pandangan tersebut antara lain terkait boleh tidaknya melakukan sholat kafarat. Ada yang membolehkannya berdasarkan pertimbangan dari Al-Qadli Husain yang membolehkan mengqadha sholat fardhu yang ditinggalkan secara ragu. Diskusi panjang mengenai masalah ini memperlihatkan kompleksitas hukum dalam Islam terkait dengan sholat kafarat.
Baca juga: Presiden Joko Widodo menerima mushaf Al-Qur’an setelah menunaikan shalat Dhuha di Masjid Mohammed Bin Zayed (MBZ), Kota Solo, Jawa Tengah.