Label bahwa perempuan lebih emosional atau hanya ‘cocok’ di bidang tertentu telah lama melekat dalam masyarakat akibat dari konstruksi gender kaku yang berasal dari budaya patriarki. Stereotip semacam itu kerap kali membatasi perempuan dalam ruang gerak mereka. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berhasil mencapai posisi penting di berbagai bidang, dari kepala negara hingga pemimpin organisasi internasional.
Berbagai penelitian yang dilaporkan oleh World Economic Forum menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fisik antara otak perempuan dan laki-laki. Studi-studi yang dilakukan oleh Universitas McMaster, Universitas Pennsylvania, dan Universitas Cambridge mengungkapkan perbedaan dalam struktur, komposisi kimia, dan fungsi otak antara kedua jenis kelamin tersebut. Misalnya, kemampuan otak dalam memproses stres atau mengingat peristiwa emosional. Meskipun terdapat perbedaan ini, penting untuk tidak membesar-besarkan perbedaan tersebut sehingga menjadikannya sebagai mitos tentang dominasi salah satu jenis kelamin.
Para ilmuwan menekankan bahwa kemampuan manusia seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang dapat berkembang pada siapa pun, tidak bergantung pada jenis kelamin. Salah satu klaim yang sering muncul adalah bahwa perempuan lebih baik dalam multitasking karena hubungan yang lebih erat antara sisi kiri dan kanan korteks serebralnya. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak ada otak manusia yang dapat bekerja optimal saat melakukan banyak tugas secara bersamaan.