Ketua DPP PDI Perjuangan Said Abdullah menyoroti naskah RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang mengatur Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan usulan DPRD Jakarta.
Menurutnya, gagasan tersebut seperti mundur ke belakang. Pasalnya, saat masih menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta sudah mempraktekkan proses demokrasi yang baik. Bahkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta menjadi barometer demokrasi nasional karena tumbuhnya partisipasi kritis warga Jakarta, meskipun Pilgub Jakarta pernah ternoda dengan munculnya politisasi agama saat tahun 2017.
“Namun secara umum selama pelaksanaan Pilgub Jakarta adalah barometer politik nasional, simbol demokrasi. Banyak tokoh nasional lahir dari kepemimpinan di Jakarta seperti Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dulu kita juga mengenal Bang Ali Sadikin tokoh Petisi 50 di era Orde Baru. Praktik yang tumbuh baik ini hendaknya tidak ditarik lagi seperti zaman kegelapan, zaman otoritarian seperti masa orde baru,” ujar Said dalam keterangannya, Kamis (7/12/2023).
Menyikapi usulan ini, Said menyampaikan PDIP menolak jika Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta ditunjuk oleh presiden dengan empat alasan. Pertama, kekhususan tentang Jakarta tidak boleh menjadi dasar bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta dipilih oleh Presiden selaku kepala pemerintahan, sebab hal itu tidak ada hubungannya.
“Rumusan kekhususan Jakarta harus diterjemahkan sebagai bagian dari daerah yang menyimpan sejarah perjuangan bangsa dan negara, sekaligus daerah yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan keuangan berskala nasional dan internasional,” papar Said.
Kedua, kewenangan kekhususan Jakarta yang dijabarkan dalam RUU DKJ yang terbagi dalam kewenangan urusan pemerintahan dan kelembagaan justru belum sepenuhnya menggambarkan kekhususan Jakarta menyangkut peran dan posisinya sebagai wilayah bersejarah dalam perjuangan bangsa dan negara serta pusat kawasan bisnis dan keuangan berskala nasional dan internasional.
“Meskipun dalam RUU DKJ tersebut telah detil mengatur kewenangan kekhususan Jakarta, namun ada hal yang luput dimasukkan, seperti kewenangan tata kelola pemajuan sejarah bangsa di Jakarta,” imbuhnya.
Ketiga, Said menilai draft RUU Daerah Khusus Jakarta yang sekarang menjadi usul inisiatif DPR tak sejalan dengan prinsip demokrasi.
“Kami tidak setuju atas usulan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan memperhatikan usulan DPRD Jakarta. Selain bertolak belakang dengan prinsip prinsip demokrasi, usulan ini mencabut hak politik warga Jakarta,” jelasnya.
“Apalagi sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah khusus, Gubernur Jakarta akan memiliki kewenangan yang lebih daripada daerah otonom lainnya. Kewenangan yang besar seharusnya patuh pada asas demokrasi. PDI Perjuangan berkomitmen untuk merawat dan menumbuhkan demokrasi yang berkembang dengan baik di Jakarta,” lanjutnya.
Keempat, meski status Jakarta nantinya tak lagi menjadi Ibu Kota, bukan berarti kepemimpinannya dapat dipilih oleh presiden. Menurut Said, pemimpin Jakarta juga harus dilakukan melalui pemilihan umum.
“Karena perannya sebagai Ibu Kota telah berakhir, dan agar berlaku adil dan kongruen seperti daerah otonom lainnya, maka bupati dan wali Kota yang memerintah di Kabupaten dan Kota yang berada di wilayah Jakarta juga harus dipilih melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, sekaligus memiliki DPRD Kabupaten Kota yang dipilih juga secara langsung. Sehingga menjadi daerah otonom, bukan lagi sebagai bagian wilayah administratif,” pungkasnya.