JAKARTA – Debat kedua calon wakil presiden (cawapres) menjadi panggung bagi Gibran Rakabuming Raka. Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Aditya Perdana menilai, Gibran berhasil membalikkan keadaan saat tampil prima di debat cawapres yang diadakan KPU di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (22/12/2023).
Aditya menyebut sebelum debat cawapres, banyak yang meragukan kemampuan Gibran karena ia kerap menghindari forum debat di luar yang diadakan KPU secara resmi. “Orang yang kemarin meremehkan Gibran yang underestimat. Dengan kemampuan retorika dan publik speaking karena jarang tampil ke publik, ternyata dia membalikkan situasi,” kata Aditya, Jumat (22/12/2023).
Dengan memperlihatkan kebolehannya tampil di debat cawapres, Aditya meyakini Gibran punya potensi besar untuk mampu bersaing di kancah pilpres. Namun, Aditya melihat sisi negatif Gibran yang kemudian terkesan meremehkan lawan bicara ketika merasa sudah di atas angin. Tapi secara umum, kata dia, Gibran berhasil membuktikan diri kalau kapasitasnya tak perlu lagi diragukan.
Aditya justru heran dengan penampilan Muhaimin Iskandar yang kerap blunder. Seperti saat membahas mengenai Ibu Kota Negara (IKN) dan State Of The Global Islamic Economy (SGIE). Padahal, ekonomi syariah adalah salah satu visi misi Anies-Muhaimin. “Cak Imin blunder banyak. Terutama soal IKN dan ekonomi syariah global. Meskipun itu jebakan,” ucap Aditya.
Aditya juga memuji penampilan Mahfud MD. Menurut dia, awalnya Mahfud juga diragukan dapat menguasai ekonomi karena latar belakangnya sangat kental dengan bidang hukum. “Mahfud saya pikir punya perspektif ekonomi dalam kacamata hukum. Awalnya orang juga underestimate. Tapi dia paham dan tahu persoalan ekonomi yang harus balik kepada urusan regulasi,” kata Aditya.
Pendapat yang sama juga dikatakan analis politik, Arifki Chaniago. Menurutnya, Gibran menguasai panggung debat cawapres. Gibran, menurut Arifki, telah membalikkan opini publik yang semula meremehkan dirinya akan melempem pada forum debat resmi. “Saya membaca Gibran di luar dugaan. Debat cawapres ini jelas dikuasai oleh Gibran. Sebelumnya Gibran sebelumnya diremehkan,” kata Arifki.
Arifki menilai, Gibran terlihat berada pada level di atas dua seniornya, yakni Muhaimin Iskandar dan juga Mahfud MD. Gibran, kata dia, menguasai isu-isu yang dibahas sesuai tema yang ditetapkan KPU pada debat cawapres kali ini. “Dari isu-isu yang keluar dalam debat malam ini Gibran lebih paham persoalan dari pada Mahfud dan Imin,” ujar Arifki.
Dalam debat, Gibran menargetkan peningkatan rasio pajak hingga 23 persen pada era pemerintahan mendatang. Kata dia, peningkatan rasio pajak bisa dicapai dengan perluasan penerimaan pajak. Gibran menganalogikan dengan kebun binatang. Kata dia, peningkatan rasio pajak bukan berarti meningkatkan beban pajak masyarakat. Namun justru memperluas kebun binatang, mempersehat hewan, sehingga bisa mendapatkan reveneu lebih dari utilisasi kebun binatang tersebut.
“Kita ini tidak ingin berburu dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya. Kita tanami, kita gemukkan binatangnya. Caranya, dengan membuka dunia usaha baru, sehingga tax ratio kita bisa lebih baik,” kata Gibran.
Gibran juga menjelaskan upayanya adalah dengan membentuk badan penerimaan pajak. Kata Gibran, nantinya Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai akan dilebur dan fokus dalam penerimaan negara. “Peningkatan rasio pajak dan menaikkan pajak itu berbeda. Menaikkan rasio pajak, kita akan membentuk badan penerimaan pajak, jadi akan mempermudah koordinasi dengan kementerian terkait,” kata Gibran.
Ia juga menjelaskan, saat ini sebenarnya rencana tersebut sudah dibuat di dalam Kementerian Keuangan. Core Tax System saat ini sudah sedang dalam uji coba. Dengan mekanisme ini maka bisa mempermudah proses bisnis dan pelayanan pajak.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan rasio pajak atau tax ratio pada tahun ini dapat dipertahankan sama seperti perolehan pada 2022. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan DJP Kemenkeu Ihsan Priyawibawa mengatakan rasio perpajakan pada 2022 mencapai 10,4 persen. Dia menjelaskan, buoyancy pajak dalam dua tahun terakhir lebih dari satu. Hal tersebut menunjukkan penerimaan pajak Indonesia bisa menangkap pertumbuhan ekonomi maupun inflasi.
“Hal ini sehingga tax ratio kita juga membaik dalam dua tahun terakhir dibandingkan masa pandemi 2020 8,3 persen dan 2021 bisa 9,1 persen dan 2022 bisa 10,4 persen,” jelas Ihsan.
Ihsan menuturkan, pada 2019, DJP melakukan penerimaan pajak sebesar Rp 1.332,7 triliun. Lalu pada 2022 setelah pandemi DJP berhasil mencatat penerimaan pajak mencapai Rp 1.716,8 triliun. “Artinya kalau kita lihat nilai nominalnya memang jauh lebih tinggi ketimbang katakanlah pada sebelum pandemi 2019,” ucap Ihsan.