Jakarta – Kata seorang pria, “Tidak ada yang istimewa dalam kegemerlapan pergantian tahun baru jika petasan yang menjadi puncak dalam setiap perayaan tersebut.”
Pesta petasan atau mercon merupakan salah satu elemen penting dalam perayaan tahun baru yang selalu digunakan oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Menunggu 10 detik terakhir setiap akhir tahun dan disuarakan bersama secara mundur. Lalu, tepat di angka satu, semua orang bersorak ramai dan petasan terbang mengudara. Petasan ini menghiasi langit yang kelam dengan warna-warna indah dan suara yang khas. Suara ledakan petasan menjadi tanda bahwa tahun yang baru dimulai.
Dalam masa lalu, seorang anak kecil bernama Kusno, hanya bisa mengintip dari ventilasi kecil dari kamarnya yang tersusun dari bambu saat kawan-kawannya bermain petasan di malam lebaran. Namun, suatu ketika kawan ayahnya memberinya petasan. Candaan tersebut merupakan hadiah yang paling berkesan baginya. Kusno yang dimaksud adalah Soekarno, presiden pertama Indonesia. Kisah ini disampaikan oleh S. Kusbiono dalam buku “Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik Indonesia.”
Dulu, sebelum bubuk mesiu ditemukan, membakar petasan adalah tradisi Cina yang berguna untuk mengusir Nian yang selalu menganggu setiap perayaan tahun baru. Nian adalah sosok makhluk buas yang mirip singa dengan tanduk runcing yang selalu mengganggu dan memakan masyarakat yang dijumpainya. Oleh sebab itu penduduk setempat membuat “baouzhu”, alat yang terbuat dari bambu yang mengeluarkan suara ledakan sehingga Nian menjadi terusik.
Sejak itu, petasan digunakan dalam setiap perayaan dan festival di Cina. Menurut sejarawan Alwi Shahab, menyulut petasan adalah tanda komunikasi untuk memberitahu banyak orang akan ada pesta atau acara besar. Dan, rentetan suara petasan menjadi tanda status sosial seseorang.
Penggunaan mercon juga menjadi atribut istimewa bagi masyarakat Tionghoa dalam menyambut musim semi (imlek) atau tahun baru. Mereka menyebut perayaan ini dengan “Guo Nian” yang berarti “menyambut tahun baru” atau secara harfiah berarti “mengusir Nian”.
Masyarakat Tionghoa memaknai tahun baru (menyambut musim semi) sebagai upaya membuang segala keburukan di tahun lalu dan berharap tahun baru yang lebih baik. Seperti filosofi musim semi, bunga-bunga bermekaran, tunas-tunas tumbuhan bertumbuh, dan matahari menyebarkan kehangatan sinarnya.
Selain itu, pada perayaan malam Tahun Baru 1971 di Indonesia pernah digelar “Pesta Petasan” oleh Gubernur Jakarta, Ali Sadikin. Perayaan ini kemudian memicu persoalan politik karena banyak petasan yang dibakar malam itu menyebabkan puluhan orang meninggal dan luka parah.
Insiden ini membuat Presiden Soeharto melakukan pelarangan dan aturan khusus terkait petasan. Bahkan para pemimpin agama juga mencoba mencari ayat Al-Quran dan Hadis untuk mencegah praktik petasan ini. Termasuk Menteri Agama Buya Hamka dan Ketua IV NU Imron Rosjadi. Meski kemudian banyak masyarakat Islam tidak setuju dengan pelarangan itu.
Pada perayaan akhir tahun 2023 ini, menjadi momen refleksi bagi kita untuk menghindari kesenangan semu dan merayakan dengan makna yang lebih dalam. Hal ini tidak hanya seputar perayaan tahun baru semata namun juga tentang pelaksanaan politik di tahun yang baru. Generasi Milenial dan Z adalah salah satu kelompok yang sangat bersemangat dalam menyambut perayaan tahun baru dan juga merupakan kelompok pemilih yang strategis dalam pesta politik di tahun 2024.
Kita tidak boleh hanya memilih pemimpin berdasarkan janji-janji manis semata namun harus mempertimbangkan juga masa lalu dan kinerja para kontestan pemilu sebelumnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu merealisasikan janji-janjinya, bukan hanya menciptakan gemerlap semu tanpa hasil yang nyata. Semoga kita semua dapat menyambut tahun 2024 dengan penuh makna dan sukses.