Banyak kasus bunuh diri pelajar harus direspons dengan cepat dan sungguh-sungguh oleh para pemangku kepentingan. Ancaman kesehatan mental di kalangan peserta didik dinilai menjadi salah satu pemicu utama kasus bunuh diri, sehingga membutuhkan langkah solutif dari pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan.
“Harus ada langkah terobosan, baik berupa penguatan regulasi atau program agar ancaman mental health yang berujung pada berbagai kasus bunuh diri dan menyakiti diri sendiri para peserta didik bisa dicegah dan diminimalkan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Jumat (10/11/2023) kemarin.
Deretan kasus bunuh diri di kalangan peserta didik memang terus meningkat, termasuk juga terjadi di jenjang perkuliahan. Terbaru, kasus bunuh diri mahasiswa Universitas Airlangga di Surabaya dan siswa SMP di Kabupaten Sumedang. Dua kasus terakhir ini menambah panjang kasus bunuh diri di Indonesia.
Huda mengungkapkan, fenomena bunuh diri di Indonesia memang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023.
“Angka ini tentu telah melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya mencapai 900 kasus. Ironisnya, pelaku bunuh diri ini juga banyak dari kalangan peserta didik baik siswa maupun mahasiswa,” katanya.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, sepanjang 2023 terdapat 17 kasus anak usia SD hingga SMA mengakhiri hidup atau bunuh diri. Jumlah tersebut diperkirakan masih belum menunjukkan jumlah yang sebenarnya karena kesadaran untuk melaporkan kasus bunuh diri anak belum terbentuk dengan baik.
Huda mengatakan, salah satu pemicu bunuh diri di kalangan peserta didik adalah tingginya ancaman mental health yang memicu depresi. Berbagai tekanan yang diterima peserta didik mulai dari bullying di lingkungan sekolah, tekanan ekonomi, tekanan sosial, hingga tugas sekolah yang bertumpuk membuat mereka rentan mengalami guncangan jiwa.
“Di sisi lain, pemerintah belum melihat mental health di kalangan peserta didik ini menjadi isu utama. Akibatnya, belum tersedia layanan konseling yang memadai, baik di lingkungan sekolah, kampus, maupun di fasilitas kesehatan di Tanah Air,” ujarnya.
Politisi PKB ini mengusulkan agar layanan Bimbingan Konseling (BK), baik di sekolah maupun kampus diperkuat. Menurutnya, penguatan peran BK ini mendesak dilakukan. Penguatan ini meliputi penambahan jumlah personel, latar belakang pendidikan personel BK yang sesuai, hingga model kerja.
“Selama ini BK dinilai sekadar pelengkap dalam penyelenggaraan pendidikan. Bahkan banyak BK yang diisi oleh guru dengan background pendidikannya tidak sesuai kebutuhan pendampingan psikologis. Model kerja personel BK juga terkadang seadanya. Ke depan hal itu harus diubah,” katanya.
Huda menilai, saat ini Kemendikbudristek mendorong pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap unit pendidikan. Namun, tugas kerja dari TPPK ini cenderung lebih upaya untuk mencegah kekerasan dibandingkan aktif melakukan pendampingan psikologis akibat tekanan mental yang dialami siswa.
“Jika memungkinkan, TPPK ini perannya diperluas tidak hanya mencegah bullying, tetapi juga aktif melakukan pendampingan psikologis untuk ancaman mental health,” ujar Huda.