25.2 C
Jakarta
Sunday, November 17, 2024
HomeLainnyaProdi Hubungan Internasional UKI Berdiskusi dengan DPR RI tentang Regulasi Intelijen di...

Prodi Hubungan Internasional UKI Berdiskusi dengan DPR RI tentang Regulasi Intelijen di Indonesia

Menyimak Aturan Intelijen di Indonesia oleh Prodi HI UKI Bersama DPR RI

Undang-Undang No. 17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara bertugas untuk melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam upaya mencegah, melawan, dan menangani ancaman yang mungkin menimbulkan bahaya terhadap kepentingan dan keamanan nasional.

Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E., M.M., M.Si, menjelaskan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring Atau Kuasa, Sebuah Diskursus” yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama dengan Departemen HI UI, di Ruang Executive FEB Gedung AB UKI (11/06).

“Jadi, peran intelijen negara adalah melakukan kegiatan deteksi dan peringatan dini terhadap ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional,” kata Tubagus Hasanuddin.

Menurut Tubagus, undang-undang Intelijen bertujuan mengatur kegiatan intelijen, namun yang terpenting adalah menjaga moralitas agar kegiatan intelijen tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Teknologi penyadapan telah berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efisien namun juga invasif. Alat-alat ini sering digunakan untuk memantau komunikasi digital, seperti pesan teks, panggilan telepon, dan aktivitas online lainnya. Meskipun teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan keamanan yang sah, laporan Amnesty International menyoroti penyalahgunaan yang sering terjadi.

Lebih lanjut, Tubagus Hasanuddin menjelaskan, dalam Undang-Undang Intelijen negara, isu penyadapan sering menjadi perdebatan. “Penyadapan dapat memiliki tujuan yang baik selama masih melindungi hak asasi manusia,” ujarnya.

Guru Besar ilmu keamanan internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D., menyoroti ketentuan tentang penyadapan yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Hal yang terpenting adalah dalam aturan penyadapan atau spionase harus memprioritaskan keamanan dan hak asasi manusia. Penegak hukum melakukan penyadapan untuk menjaga keamanan negara dari ancaman. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur kebijakan agar kegiatan spionase atau intelijen tidak melanggar kebebasan individu,” kata Prof. Angel Damayanti.

Prof. Angel menjelaskan pentingnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang spionase, norma, dan etika dalam memperoleh informasi, serta perlunya kejelasan dalam mendefinisikan ancaman untuk membuat regulasi yang efektif.

“Dalam merumuskan RUU, penting untuk memiliki persepsi yang sama tentang apa yang dimaksud dengan ancaman. Misalnya, dalam kasus terorisme, terdapat perbedaan pendapat apakah wanita, remaja, dan anak-anak dianggap sebagai korban, pelaku, atau ancaman. RUU harus jelas dalam mengatur apakah bukti digital yang diperoleh melalui spionase dapat digunakan dalam pengadilan kasus terorisme, sehingga hakim dapat memberikan hukuman yang adil,” jelas Prof. Angel.

Narasumber lainnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., memberikan pandangannya mengenai kontradiksi dalam hubungan antara negara dengan spionase, serta pentingnya perkembangan teknologi dalam akses informasi.

“Spionase merupakan bentuk perang rahasia yang melibatkan pengawasan dan pengumpulan informasi secara diam-diam,” kata Arthuur.

Menurut Direktur Centre for Social Justice and Global Responsibility UKI ini, terdapat pertentangan antara transparansi dan kerahasiaan dalam hubungan antara negara dan spionase. “Negara perlu menjadi transparan untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan publik, namun di sisi lain, kerahasiaan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional,” ujarnya.

“Pentingnya kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi. Perbedaan dalam kecepatan akses informasi dapat menjadi tantangan besar, oleh karena itu negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan informasi dapat diperoleh dan digunakan secara efektif. Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas diperlukan untuk mengatur kegiatan spionase, agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di kemudian hari,” jelas Arthuur.

FGD ini dihadiri juga oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D.; Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc.; dan Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.

“Diskusi mengenai spionase dan intelijen harus terus dilakukan meskipun topik yang kompleks. Perubahan sosial merupakan konstruksi yang dapat direkonstruksi, karena setiap hal memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang terpenting adalah tidak melanggar etika dan moral untuk menekan kebebasan berpendapat,” tutup moderator. (Z-7)

Source link

BERITA TERBARU
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER