Ketua Dewan Pakar Asprindo, Didin S Damanhuri, mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia diakui sebagai negara ketiga dengan demokrasi politik, namun capaian ini tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi negara. Mulai dari pengenalan sistem pilpres langsung, otonomi daerah, pilkada, hingga pilkada serentak sejak tahun 2004, Didin menyoroti bahwa demokrasi seharusnya melibatkan tidak hanya aspek politik tetapi juga ekonomi. Sayangnya, tidak terlihat korelasi yang signifikan antara demokrasi politik dan perkembangan ekonomi pasca reformasi.
Kritik juga dilontarkan terhadap kebijakan pemerintah, terutama pada masa pemerintahan Jokowi, yang mengalokasikan dana besar untuk pembangunan infrastruktur namun tidak memiliki dampak yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi. Didin menilai ekonomi Indonesia masih biasa-biasa saja dan belum dapat menyamai era Soeharto. Lebih parahnya lagi, pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya mencapai 6 persen di era SBY dan rata-rata 5 persen di zaman Jokowi, justru terakumulasi pada kelompok kecil oligarki bisnis.
Didin juga menyoroti UU Politik dan UU Pemilu yang memungkinkan pembiayaan dari pengusaha baik di tingkat pusat maupun daerah kepada kelompok politik, yang pada akhirnya memunculkan praktik utang-mengutang antara pejabat dan pengusaha, yang berujung pada tingginya angka korupsi di Indonesia. Hal ini membuat hukum menjadi alat untuk memenangkan lawan politik, serta kolaborasi antara oligarki bisnis dan politik. Dampaknya, masyarakat miskin semakin miskin dan kelompok kaya semakin kaya, dengan beberapa orang kaya Indonesia masuk dalam daftar orang terkaya di dunia.
Dengan kondisi tersebut, Didin mempertanyakan siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh demokrasi politik yang berjalan saat ini. Hal ini menggambarkan bahwa demokrasi politik Indonesia belum sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat luas.